M A S I H
oleh: Nirmalawati Sahir
Sisa-sisa hujan belum juga reda menghiasi
malam itu. Aku bergegas keluar dan menengok ke arah langit yang pekat
kemerah-merahan. Aku mengulurkan tangan melewati jeruji jendela kamarku. Membiarkan
rintik-rintik hujan berebut singgah di telapak tangan. Hiruk pikuk asap dari
secangkir “energen sereal“ tersaji di
atas meja belajar. Aku memalingkan pandangan. Ku tatap ketiga teman kamarku
yang sudah tertidur pulas. Terlihat nyenyak hingga suara derasnya hujan pun
tidak mengusik kelelapan mereka sedikit pun. Sementara kilat dan petir kadang
menyambar meskipun tidak terlalu gemuruh. Aku menatap jam dan rupanya waktu
sudah menunjukkan pukul 23.30. Tapi mataku belum bisa terpejam. Sereal yang
tersaji kini menjadi santapan hangat dimalam yang dingin itu.
Keheninganku
terpecah seketika mendengar deringan handphone di atas meja. Aku tak habis
pikir, ada saja orang yang kurang kerjaan menjailiku malam-malam begini. Ku
lihat nama yang tertera di layar mungil itu ”06 DIAS”. Hatiku tersentak. Ada gerangan apa ia
menelpon malam-malam begini? Biasanya ia hanya mengirimkan pesan singkat
beruntun. Belakangan ini, kami juga jarang berkomunikasi setelah beberapa kabar
miring yang kudengar beredar disepanjang koridor sekolah bahwa ia sedang
menyukai seseorang di angkatan kami. Anehnya, Dias tak pernah menyinggung soal
itu. Padahal kami sudah bersahabat sejak lama. Bahkan semua orang pernah
mengira bahwa kami menjalin sebuah hubungan lebih dari teman. Tapi kami tak
pernah menghiraukannya.Itu tak menjadi masalah karena kami sudah terbiasa
dengan kabar miring seperti itu. Tanpa pikir panjang, aku menjawab telepon
Dias.
“Halo, Assalamu alaikum. Ada apa Di? “ kataku.
“Wa’alaikum
salam. Lagi sibuk Ci?” jawabnya.
“Nggak
kok. Eh, tumben. Kenapa nih?” tanyaku dengan santai.
“Aku
mau bilang sesuatu tapi jangan sampai ada yang tahu kecuali kita. Oke!” katanya
dengan nada meyakinkan.
“Oke.
Oke bos!” jawabku.
“Aku
.... aku mau bilang kalau aku suka sama kamu” katanya dengan nada agak gugup.
Terkejut bukan
main, seketika jantungku berdetak kencang. Hatiku bergemuruh lebih gaduh dari
petir dan kilat menyambar-nyambar. Jadi, selama ini kabar miring itu benar.
Tapi tidak pernah terbayangkan bahwa gadis yang ia sukai adalah sahabatnya
sendiri. Ya, aku diam seribu bahasa seperti tidak percaya dengan apa yang baru
saja aku dengar. Namun, aku berusaha mengalihkan pembicaraan untuk memastikan
bahwa Dias hanya bercanda.
“ Hahahaha,... Di..Di.. Kamu ini
ada-ada saja! Nggak lucu tau! Sudahlah, berhenti bercanda! Ini sudah tengah
malam. Tidur gii!” kataku sambil tertawa kecil.
“ Aku nggak bercanda tau! Ini
serius.” katanya dengan nada meyakinkan.
“ Di, suasananya lagi nggak cocok!
Kalo mau bercanda besok aja. Oke!” bujukku kepada Dias.
“ Aku serius Ci. Sebenarnya aku
sudah lama suka sama kamu. Aku ingin mengatakan itu tepat setelah UN nanti.
Tapi, aku semakin takut kalau kesempatan itu berlalu begitu saja. Jadi aku
putuskan untuk bilang sekarang.” jelasnya.
“ Aduh, Di. Kok bisa? Aku nggak
harus bilang wow kan! Kenapa juga harus bilang sekarang!”
“ Ya, bisalah. Karena ada sesuatu
yang unik dari kamu yang tidak aku lihat dalam diri orang lain, Ci.” kata Dias.
Aku termenung.
Pikiranku masih kacau. Sekarang, aku bingung dengan perasaanku sendiri. Ya,
dulu aku memang sempat menyukainya karena kedekatan kami berada di kelas yang
sama selama 2 tahun. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai berfikir bahwa
perasaan itu mungkin hanya sekedar perasaan kagum kepada seseorang yang wajar.
Apalagi ia adalah salah satu siswa yang periang dan diakui kecerdasannya. Siapa
yang tidak kagum dengan karakter seperti itu!. Tapi, tentunya aku tidak bisa
langsung merespon. Aku butuh waktu untuk berfikir jernih sambil memastikan
bahwa saat itu aku benar-benar sedang tidak bermimpi. Karena itu, aku
mengatakan kepada Dias bahwa aku sudah lelah dan segera ingin beristirahat.
Untungnya, Dias bisa mengerti. Bukan mengerti karena aku lelah, tapi aku rasa
ia mengerti bahwa pernyataannya itu membuatku membutuhkan banyak waktu untuk
mengetahui perasaanku yang sebenarnya.
***
Kicauan burung dan sahutan ayam di
sekitar pemukiman penduduk Kelapa Gading menyambut fajar yang mulai terbit.
Pembinaan Imtaq yang rutin dilakukan di sekolah berasrama ini telah diakhiri
dan dilanjutkan dengan sarapan pagi di Cafetaria favorit kami. Benturan gemuruh
ompreng besi yang terdengar menandakan bahwa Cafetaria itu sudah dipenuhi
antrian panjang. Kara yang menemaniku berjalan tiba-tiba berhenti dan duduk di
salah satu kursi.
“Capek nungguin antrian Ci, duduk
dulu yah! pintanya.
“Okelah.!” kataku.
Kara adalah
teman dekatku. Tepatnya tetangga kamarku. Kami berteman lama sebelum masuk ke
sekolah itu. Rumah kami pun berdekatan. Ia banyak tahu tentang kehidupanku, dan
sebaliknya. Termasuk Dias. Kara adalah tempat Dias mencurahkan perasaannya. Ia
tahu bahwa Dias menyukaiku. Ia pernah menjelaskan tentang hal itu, tapi aku
tidak begitu menghiraukan. Apalagi Dias adalah tipe orang yang sangat suka
bercanda. Mustahil bagiku jika ia berkata begitu. Tapi lain halnya dengan
sekarang. Aku rasa Kara adalah orang pertama yang harus kumintai penjelasan
mengenai hal rumit ini.
“ Kar, aku mau bertanya sesuatu ke
kamu.” kataku serius.
“Soal apa Ci? Serius buanget neng
mukanya” candanya.
“Soal Dias, Kar. Kamu benar waktu
itu. Maaf jika saat itu aku tidak menghiraukanmu.” kataku.
“Hah? Akhirnya Dias bilang juga?
Astaga, Ya Allah! Nekat banget deh!” kata Kara dengan nada berlebihan. Aku
hanya mengangguk. Lalu aku menjelaskan kronologis kejadian semalam kepada Kara.
Kara hanya diam sambil menatapku dengan senyuman licik yang hingga saat ini aku
tidak mengerti apa artinya. Langsung saja aku meminta saran kepada Kara tentang
apa yang harus kukatakan kepada Dias tanpa melukai hatinya. Kara hanya
menyuruhku memikirkan matang-matang keputusan yang akan ku katakan padanya.
***
Pagi
yang bersahabat itu ku jalani tidak seperti biasanya. Ada suasana aneh yang
membuatku enggan menyapa semua jiwa yang berlalu lalang di sekitarku. Mungkin masih
shock dengan kejadian malam kemarin. Aku berusaha menenangkan pikiran. Berusaha
mencari jalan bagaimana aku menyampaikan kepada Dias bahwa kami tidak sejalan
mengenai perasaan masing-masing. Kami memang dekat, tapi aku hanya
menganggapnya sebagai sahabat. Satu hal yang kutakutkan, kalau saja pertemanan
kami akan pudar setelah aku mengatakannya. Bel berbunyi menandakan pelajaran
usai. Gemuruh suara langkah kaki dan gurauan-gurauan prajurit putih abu-abu itu
mulai memenuhi koridor menuju Cafetaria untuk makan siang. Kara yang daritadi
menyuruhku mampir untuk makan siang mulai menarik-narik ransel yang melekat
dipunggungku. Tapi itu tidak menghalangiku untuk segera naik ke asrama untuk
beristirahat.
Belum
beberapa menit sejak aku tiba, deringan pesan singkat menyambut kelelahanku siang
terik itu. Lagi, aku dihantui perasaan bersalah membaca pesan singkat Dias.
Mungkin terlalu cepat, tapi aku juga tidak bisa bertahan dengan keadaan seperti
ini. Aku rasa itulah waktu yang tepat untuk menjelaskan yang sebenarnya.
Kuceritakan kepada Dias tentang perasaanku dengan harapan bahwa ia bisa mengerti
dan kami akan tetap berteman. Aku tahu bahwa ini akan sangat menyakitkan. Tapi
aku tidak bisa berbuat banyak. Kukirimkan permintaan maafku berulang kali
hingga balasan pesan singkatnya datang. Jawabannya membuatku terkejut bukan
main, ia memang bisa mengerti segalanya tentang aku. Tak hanya itu, kami
sepakat untuk tidak memberitahukan ini kepada siapapun, termasuk Kara. Aku
sedikit lega. Beban pikiranku sedikit berkurang. Aku tidak perlu berpura-pura
dan tidak perlu takut kehilangan teman dekatku. Toh, Dias juga sudah mengerti.
Dugaanku, ia mungkin akan menata ulang perasaannya dan membenarkan untuk lebih
baik berteman denganku.
****
Pukul
06.40 WITA, dentingan bel terdengar dari sudut Cafetaria menandakan apel pagi
akan segera dilaksanakan. Hangatnya pagi yang bersahabat menghiasi keceriaan
penghuni sekolah di tengah bukit itu. Sastra puisi, mengawali kesibukan kami dalam
ruangan tertutup itu. Semua sibuk berimajinasi dan berkhayal tentang tema puisi
masing-masing. Dengan maksud mencari inspirasi, aku berkeliling mengitari
ruangan itu sambil mengamati teman-temanku yang begitu serius. Sampai pada
pojok meja, mataku tertuju pada sebuah kertas kusut. Tulisan tangan yang tak
asing bagiku, membuatku tergerak untuk membaca isi secarik kertas itu. Di
judulnya tertulis, MASIH. Puisinya
sangat menyentuh. Mungkin puisi yang dibuat oleh sastrawan junior ini adalah
pengalaman hidupnya. Tapi setelah mengetahui siapa yang menciptakannya, sekali
lagi hatiku tersentak. Di pojok bawah kertas itu tertulis. Karya Dias Anggara _10-10-2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar