Welcome To My Blog

Minggu, 18 Agustus 2013

CERPENKU

M A S I H
oleh: Nirmalawati Sahir
 
       Sisa-sisa hujan belum juga reda menghiasi malam itu. Aku bergegas keluar dan menengok ke arah langit yang pekat kemerah-merahan. Aku mengulurkan tangan melewati  jeruji jendela kamarku. Membiarkan rintik-rintik hujan berebut singgah di telapak tangan. Hiruk pikuk asap dari secangkir  “energen sereal“ tersaji di atas meja belajar. Aku memalingkan pandangan. Ku tatap ketiga teman kamarku yang sudah tertidur pulas. Terlihat nyenyak hingga suara derasnya hujan pun tidak mengusik kelelapan mereka sedikit pun. Sementara kilat dan petir kadang menyambar meskipun tidak terlalu gemuruh. Aku menatap jam dan rupanya waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. Tapi mataku belum bisa terpejam. Sereal yang tersaji kini menjadi santapan hangat dimalam yang dingin itu.

Keheninganku terpecah seketika mendengar deringan handphone di atas meja. Aku tak habis pikir, ada saja orang yang kurang kerjaan menjailiku malam-malam begini. Ku lihat nama yang tertera di layar mungil itu ”06 DIAS”.  Hatiku tersentak. Ada gerangan apa ia menelpon malam-malam begini? Biasanya ia hanya mengirimkan pesan singkat beruntun. Belakangan ini, kami juga jarang berkomunikasi setelah beberapa kabar miring yang kudengar beredar disepanjang koridor sekolah bahwa ia sedang menyukai seseorang di angkatan kami. Anehnya, Dias tak pernah menyinggung soal itu. Padahal kami sudah bersahabat sejak lama. Bahkan semua orang pernah mengira bahwa kami menjalin sebuah hubungan lebih dari teman. Tapi kami tak pernah menghiraukannya.Itu tak menjadi masalah karena kami sudah terbiasa dengan kabar miring seperti itu. Tanpa pikir panjang, aku menjawab telepon Dias.

 “Halo, Assalamu alaikum. Ada apa Di? “ kataku.

“Wa’alaikum salam. Lagi sibuk Ci?” jawabnya.

“Nggak kok. Eh, tumben. Kenapa nih?” tanyaku dengan santai.

“Aku mau bilang sesuatu tapi jangan sampai ada yang tahu kecuali kita. Oke!” katanya dengan nada meyakinkan.

“Oke. Oke bos!” jawabku.

“Aku .... aku mau bilang kalau aku suka sama kamu” katanya dengan nada agak gugup.

Terkejut bukan main, seketika jantungku berdetak kencang. Hatiku bergemuruh lebih gaduh dari petir dan kilat menyambar-nyambar. Jadi, selama ini kabar miring itu benar. Tapi tidak pernah terbayangkan bahwa gadis yang ia sukai adalah sahabatnya sendiri. Ya, aku diam seribu bahasa seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Namun, aku berusaha mengalihkan pembicaraan untuk memastikan bahwa Dias hanya bercanda.

            “ Hahahaha,... Di..Di.. Kamu ini ada-ada saja! Nggak lucu tau! Sudahlah, berhenti bercanda! Ini sudah tengah malam. Tidur gii!” kataku sambil tertawa kecil.

            “ Aku nggak bercanda tau! Ini serius.” katanya dengan nada meyakinkan.

            “ Di, suasananya lagi nggak cocok! Kalo mau bercanda besok aja. Oke!” bujukku kepada Dias.

            “ Aku serius Ci. Sebenarnya aku sudah lama suka sama kamu. Aku ingin mengatakan itu tepat setelah UN nanti. Tapi, aku semakin takut kalau kesempatan itu berlalu begitu saja. Jadi aku putuskan untuk bilang sekarang.” jelasnya.

            “ Aduh, Di. Kok bisa? Aku nggak harus bilang wow kan! Kenapa juga harus bilang sekarang!”

            “ Ya, bisalah. Karena ada sesuatu yang unik dari kamu yang tidak aku lihat dalam diri orang lain, Ci.” kata Dias.

Aku termenung. Pikiranku masih kacau. Sekarang, aku bingung dengan perasaanku sendiri. Ya, dulu aku memang sempat menyukainya karena kedekatan kami berada di kelas yang sama selama 2 tahun. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai berfikir bahwa perasaan itu mungkin hanya sekedar perasaan kagum kepada seseorang yang wajar. Apalagi ia adalah salah satu siswa yang periang dan diakui kecerdasannya. Siapa yang tidak kagum dengan karakter seperti itu!. Tapi, tentunya aku tidak bisa langsung merespon. Aku butuh waktu untuk berfikir jernih sambil memastikan bahwa saat itu aku benar-benar sedang tidak bermimpi. Karena itu, aku mengatakan kepada Dias bahwa aku sudah lelah dan segera ingin beristirahat. Untungnya, Dias bisa mengerti. Bukan mengerti karena aku lelah, tapi aku rasa ia mengerti bahwa pernyataannya itu membuatku membutuhkan banyak waktu untuk mengetahui perasaanku yang sebenarnya.

***

            Kicauan burung dan sahutan ayam di sekitar pemukiman penduduk Kelapa Gading menyambut fajar yang mulai terbit. Pembinaan Imtaq yang rutin dilakukan di sekolah berasrama ini telah diakhiri dan dilanjutkan dengan sarapan pagi di Cafetaria favorit kami. Benturan gemuruh ompreng besi yang terdengar menandakan bahwa Cafetaria itu sudah dipenuhi antrian panjang. Kara yang menemaniku berjalan tiba-tiba berhenti dan duduk di salah satu kursi.

            “Capek nungguin antrian Ci, duduk dulu yah! pintanya.

            “Okelah.!” kataku.

Kara adalah teman dekatku. Tepatnya tetangga kamarku. Kami berteman lama sebelum masuk ke sekolah itu. Rumah kami pun berdekatan. Ia banyak tahu tentang kehidupanku, dan sebaliknya. Termasuk Dias. Kara adalah tempat Dias mencurahkan perasaannya. Ia tahu bahwa Dias menyukaiku. Ia pernah menjelaskan tentang hal itu, tapi aku tidak begitu menghiraukan. Apalagi Dias adalah tipe orang yang sangat suka bercanda. Mustahil bagiku jika ia berkata begitu. Tapi lain halnya dengan sekarang. Aku rasa Kara adalah orang pertama yang harus kumintai penjelasan mengenai hal rumit ini.

            “ Kar, aku mau bertanya sesuatu ke kamu.” kataku serius.

            “Soal apa Ci? Serius buanget neng mukanya” candanya.

            “Soal Dias, Kar. Kamu benar waktu itu. Maaf jika saat itu aku tidak menghiraukanmu.” kataku.

            “Hah? Akhirnya Dias bilang juga? Astaga, Ya Allah! Nekat banget deh!” kata Kara dengan nada berlebihan. Aku hanya mengangguk. Lalu aku menjelaskan kronologis kejadian semalam kepada Kara. Kara hanya diam sambil menatapku dengan senyuman licik yang hingga saat ini aku tidak mengerti apa artinya. Langsung saja aku meminta saran kepada Kara tentang apa yang harus kukatakan kepada Dias tanpa melukai hatinya. Kara hanya menyuruhku memikirkan matang-matang keputusan yang akan ku katakan padanya.  
***

Pagi yang bersahabat itu ku jalani tidak seperti biasanya. Ada suasana aneh yang membuatku enggan menyapa semua jiwa yang berlalu lalang di sekitarku. Mungkin masih shock dengan kejadian malam kemarin. Aku berusaha menenangkan pikiran. Berusaha mencari jalan bagaimana aku menyampaikan kepada Dias bahwa kami tidak sejalan mengenai perasaan masing-masing. Kami memang dekat, tapi aku hanya menganggapnya sebagai sahabat. Satu hal yang kutakutkan, kalau saja pertemanan kami akan pudar setelah aku mengatakannya. Bel berbunyi menandakan pelajaran usai. Gemuruh suara langkah kaki dan gurauan-gurauan prajurit putih abu-abu itu mulai memenuhi koridor menuju Cafetaria untuk makan siang. Kara yang daritadi menyuruhku mampir untuk makan siang mulai menarik-narik ransel yang melekat dipunggungku. Tapi itu tidak menghalangiku untuk segera naik ke asrama untuk beristirahat.

Belum beberapa menit sejak aku tiba, deringan pesan singkat menyambut kelelahanku siang terik itu. Lagi, aku dihantui perasaan bersalah membaca pesan singkat Dias. Mungkin terlalu cepat, tapi aku juga tidak bisa bertahan dengan keadaan seperti ini. Aku rasa itulah waktu yang tepat untuk menjelaskan yang sebenarnya. Kuceritakan kepada Dias tentang perasaanku dengan harapan bahwa ia bisa mengerti dan kami akan tetap berteman. Aku tahu bahwa ini akan sangat menyakitkan. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Kukirimkan permintaan maafku berulang kali hingga balasan pesan singkatnya datang. Jawabannya membuatku terkejut bukan main, ia memang bisa mengerti segalanya tentang aku. Tak hanya itu, kami sepakat untuk tidak memberitahukan ini kepada siapapun, termasuk Kara. Aku sedikit lega. Beban pikiranku sedikit berkurang. Aku tidak perlu berpura-pura dan tidak perlu takut kehilangan teman dekatku. Toh, Dias juga sudah mengerti. Dugaanku, ia mungkin akan menata ulang perasaannya dan membenarkan untuk lebih baik berteman denganku.

****

Pukul 06.40 WITA, dentingan bel terdengar dari sudut Cafetaria menandakan apel pagi akan segera dilaksanakan. Hangatnya pagi yang bersahabat menghiasi keceriaan penghuni sekolah di tengah bukit itu. Sastra puisi, mengawali kesibukan kami dalam ruangan tertutup itu. Semua sibuk berimajinasi dan berkhayal tentang tema puisi masing-masing. Dengan maksud mencari inspirasi, aku berkeliling mengitari ruangan itu sambil mengamati teman-temanku yang begitu serius. Sampai pada pojok meja, mataku tertuju pada sebuah kertas kusut. Tulisan tangan yang tak asing bagiku, membuatku tergerak untuk membaca isi secarik kertas itu. Di judulnya tertulis, MASIH. Puisinya sangat menyentuh. Mungkin puisi yang dibuat oleh sastrawan junior ini adalah pengalaman hidupnya. Tapi setelah mengetahui siapa yang menciptakannya, sekali lagi hatiku tersentak. Di pojok bawah kertas itu tertulis. Karya Dias Anggara _10-10-2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar