THANKS FOR APRIL
Oleh: Nirmalawati Sahir
Aku adalah siswi SMA Budi Pekerti Bangsa. Salah satu sekolah yang dianggap unggul dan membanggakan kota Pendidikan itu. Tak banyak masyarakat disekitarku menganggap bahwa masuk di sekolah ini hanya membuang-buang uang. Tapi pernyataan itu ternyata tidak menggoyahkan pemikiranku untuk melanjutkan tekadku. Harus aku akui bahwa sekolah yang dianggap biayanya semahal harga tanah ini memang agak susah bagiku. Apalagi kondisi keluargaku yang sederhana sempat membuatku sedikit ragu. Namun, aku mempunyai orang tua yang sangat pengertian. Kebetulan mereka adalah pengajar yang juga mengerti tentang pendidikan. Jadi mereka mengerti bahwa ilmu pun butuh yang namanya pengorbanan meski itu dengan materi sekalipun. Mereka juga mendukung untuk menyekolahkanku di sekolah ini. Sekolah asrama yang sudah difasilitasi sehingga seperti berada di rumah kedua. Awalnya, aku susah untuk beradaptasi. Namun lambat laun aku bisa membiasakan diri. Aku sosok yang susah ditebak. Jika aku merasa kesepian, ada saja hal-hal aneh. Ketika aku merasa senang, jiwaku kadang tak terkontrol tapi itu juga bukan berarti aku mengidam gangguan jiwa atau gila. Saat kau menyangka bahwa burung beo itu cerewet, maka ketika kau melihatku yakinlah aku bukan spesies dari burung beo itu. Ya, aku memang cerewet, tapi itu terjadwal tergantung dengan apa yang ada dihadapanku saat itu.
Siang ini semua masih biasa dengan siang-siang sebelumnya. Siang ini masih terasa panas. Siang ini ozon yang membolong masih tetap tak mampu menahan sinar ultraviolet dan malah bertambah parah. Berdiam diri di kamar sendiri adalah hal yang paling penting untuk menggunakan waktu istirahat bagi siswi asrama seperti aku. Meskipun perut masih terasa menciut, namun aku tetap berkeras hati untuk langsung beristirahat daripada membuang-buang waktu hampir setengah jam untuk menunggu antrian di pentri. Belum beberapa menit setelah aku berbaring tiba-tiba terdengar suara dar arah pintu kamar yang terbuka lebar.
“Cik, kok nggak makan. Puasa ya?” Tanyanya.
“Nggak kok. Cuman mau langsung istirahat. Soalnya antriannya panjang, jadi males deh!” jawabku alay.
Setelah dialog singkat itu, aku kembali berbaring dan tiba-tiba handphoneku bordering panjang.
“Assalamu alaikum, kenapa Ril?” tanyaku.
“Nggak kenapa-kenapa. Aku cuma mau tanya so…all… soal..,” jawabnya pelan.
“Soal apa? Panjang amat. Cepet dong, jam tidur siang nih!” tegasku.
“Ahh, nggak jadi..nggak jadi…! “(Tut tut tut) jawabnya tergesa-gesa dan langsung memutuskan teleponnya.
Sebenarnya aku masih bingung dengan anak ini. Dia adalah salah satu teman kelasku. Kami memang sudah hampir 2 tahun berada di kelas yang sama. Tapi hingga saat ini aku masih tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya. Namanya Diat Admanegara. Aku lebih sering memanggilnya Dira. Akupun memungutnya menjadi seorang sahabat saat ia sedang bingung untuk lari dari masalah. Saat itu ia telat mengikuti apel pagi pertama di sekolah sama halnyadengan aku. Pak Cecep yang sudah berdiri di lapangan, langsung menoleh ke arah kami. Bergegas kutarik tasnya ke belakang dan tiba-tiba ia mendahuluiku berlari untuk bersembunyi. Namun tak tahu apa yang kupikirkan saat itu, aku langsung mengambil sebuah batu kemudian melemparkannya ke arah Dira hingga membuat kepalanya sedikit terluka. Kesempatan itu kugunakan sebagai alasan untuk lari dari kemarahan Pak Cecep. Sebenarnya aku merasa kasihan, tapi mau bagaimana lagi. Setelah lukanya diobati, aku langsung meminta maaf. Sejak saat itulah kami bersahabat. Dia sosok yang baik, periang dan lucu, tapi kadang-kadang ia menjengkelkanku. Dia itu superlebay. Itulah salah satu kebiasaannya. Menelponku saat ingin tidur siang, dan kemudian menutupnya secara tiba-tiba dengan alasan yang tidak jelas. Bahkan kadang-kadang ia hanya menelpon ketika ingin menghabiskan sisa-sisa TM-nya. Are you kidding me?2 tahun jadi teman dan hanya jadi korban TMnya?. Alay sekali!. Tapi kebiasaannya yang aneh, tidak membuatku memutuskan persahabatan kami. Aku tetap menjadi korban TM yang baik, dan dia tetap menjadi sahabat terbaik yang selalu siap membantuku. Kadang-kadang ia menyebut dirinya sebagai guardian angel yang dikirim untuk menjadi sahabatku. Masya Allah! Lagi-lagi dia menjadi alay seperti biasanya.
***
Beberapa hari ini, Dira agak kelihatan beda tidak seperti biasanya. Ia lebih menutup diri seperti orang yang sedang demam galau. Berbicara denganku pun ia tak pernah. Ia selalu menghindar. Sebagai sahabat yang baik, tentu aku berusaha mencari tahu apa yang menjadikannya galau seperti ini.
“Kenapa mas bro? kok galau? Pulsanya abis ya?” hiburku.
“Eh, Cika! Anu ituu, emm… Duluan yah!” jawabnya. Ia seperti tergesa-gesa. Seperti menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku mulai bosan dengan sikapnya. Terlalu misterius. Saat itu aku mulai berkeliling kelas dan mencari informasi dari teman se asramanya.
“Dif, kamu tahu nggak Dira kenapa? Kok jadi misterius gitu?” tanyaku.
“Meneketehe, tanya aja sendiri. Situ kan sahabatnya, jadi lebih tahu dong.!” jawab Difo.
“Yee, sampean kan teman kamarnya. Kasitahu dong!!” kataku memaksa.
“Cepe’ dulu.! Hahaha!” ejek Difo.
“Huhh. dasar. Mata duitan banget si jadi cowok.!” tegasku sambil berlalu meninggalkannya.
Sebenarnya aku jadi sedikit tersinggung dengan sikap Dira yang aneh belakangan ini. Ia jadi tertutup dariku. Padahal setahuku, jika ia sedang dirundung masalah, pasti dia akan cerita kepadaku. Tapi kupikir, mungkin ia betul-betul ingin sendiri saat ini dan jika begitu adanya, masalahnya pasti sangatlah rumit untuk diselesaikan. Aku menghela napas panjang, kemudian menyusuri koridor panjang sekolah. Baru saja aku ingin memasuki perpustakaan, tiba-tiba seseorang berlari ke arahku dan kelihatannya ia seperti dikejar sesuatu.
“Cik.. Cik.. stop disitu!! .. Dira, Cik… Dira..!” katanya tergesa-gesa.
“Dira kenapa? Tenang dulu dong!” tanyaku keheranan.
“Dira pingsan Cik. Dia pucat banget.” Jawabnya gelagapan.
Tanpa pikir panjang lagi, aku segera meninggalkan temanku itu dan menuju ke kelasku. Disana aku sudah melihat Dira tergeletak lemah dan dikerumuni banyak orang dimeja bagian belakang. Aku ingin bertanya tentang keadaannya saat itu tapi kupikir itu bukan waktu yang tepat untuk bernegosiasi dengannya. Aku memutuskan untuk menungguinya hingga ia netul-betul sadar sepenuhnya. Sementara itu, aku mengambil notebook dari tasnya. Kupikir, mungkin lebih baik aku menungguinya dimeja depan sambil mengutak-atik notebook hijaunya. Siapa tahu aku bisa mendapatkan penjelasan yang lebih bermakna didalamnya. Toh, dia juga pasti tidak akan marah, aku kan sahabatnya. Kutelusuri satu per satu folder yang kulihat. Isinya hanya beberapa soft data yang kupikir itu adalah tugas-tugas sekolah. Namun satu keganjilan di sebuah folder bernama “Kelinking Kecil Ku” yang ia beri password, sehingga tak satupun orang yang bisa membukanya, termasuk aku. Sepertinya ia merahasiakan sesuatu didalamnya. Ini aneh, tak biasanya Dira memasang password tanpa memberi tahukannya kepadaku.
Aku semakin penasaran. Kucoba membuka folder itu dengan berbagai macam kata yang identik dengannya. Hijau, Diera, Mr. Alay, bahkan kuketik Diat Admanegara, namun foldernya juga tak kunjung terbuka. Tapi aku tak pantang menyerah, aku terus membukanya dengan semangat 45. Tapi tiba-tiba “Bruuuk”!!!.seseorang memukul meja yang sedang kutempati.
“Cik, kau sedang apa?” tanya Dira, ia seperti sedang ingin menegurku karena apa yang kukerjakan dengan notebooknya.
“Ehh..Dir, udah sadar!” Itu kok. Cuma lagi cari game aja.” jawabku.
“Nggak usah bohong kan? Lagian biar dibuka berapa kali juga, foldernya nggak akan bisa dibuka” jawabnya singkat.
“Ia. Ia. Maaf. Aku kan cuma penasaran. Isinya rahasia banget yah? Sampe aku ga boleh tahu.” tanyaku.
“Nggak juga. Nanti juga bakalan tahu. Sini!!! Bawel banget sih. Ini privacy tahu!!” seraya merebut notebooknya dariku.
“Idiiih,. Sok privacy. Biasanya juga cerita. Tumben aja tuh.!” ejekku.
“Ahhh.. udahlah. Ke Bu’ Ras yuk! Kali ini aku yang traktir. Oke bawel!” katanya semangat.
“Wah serius?!. Es krim yah!!! MAGNUM Gimana? Yah..yah..yah..?” jawabku.
“Iya baweeel.. Apa aja boleh!!!” tegasnya.
Lagi-lagi Dira menunjukkan sikapnya yang super aneh. Pikiran anak itu betul-betul berkorelasi negative dengan apa yang baru saja terjadi dengan dirinya. Mana ada orang yang baru sadar langsung traktir es krim gitu aja? Dasar Mr. Freak!. Tapi yaah, tidak apa-apalah. Kapan lagi aku bisa makan es krim semauku. Hahaha.
Hari itu terik matahari semakin tinggi. Adzan di masjid Nurul Yaqin telah berkumandang. Semua siswa-siswi bergegas melaksanakan sholat berjama’ah. Aku yang kebetulan sedang berhalangan untuk sholat, memilih untuk berdiam di kelas saja. Keadaan kelas yang biasanya mulai terkotori lagi oleh para siswa membuatku sedikit tidak nyaman. Kuputuskan mengambil sapu dan membersihkannya. Ketika sedang memunguti sampah yang ada di hadapanku, aku mendapatkan setumpukan kertas putih yang bertuliskan surat tagihan dan satunya lagi adalah surat dari tumah sakit. Surat itu tak lain dan tak bukan adalah milik sahabatku Dira. Aku membacanya dengan seksama dan kudapati sebuah nama yang aneh dalam surat itu …penyitaan rumah? Radang paru-paru? Seketika itu aku terperanjat. Jadi itulah alasannya. Mengapa selama ini ia lebih memilih menyendiri. Bahkan ia sering tidak mengikuti bimbel sore karena itu. Kupikir ia hanya sakit karena kecapaian. Apalagi aktivitas di sekolah asrama seperti disekolahku memang sangat terjadwal, dan hampir tidak ada waktu yang kosong untuk bermain-main. Jadi kupikir itu hal yang wajar-wajar saja. Kulihat tanggal pada surat itu, 15 Maret 2012. Itu baru beberapa minggu yang lalu. Ia harusnya libur untuk beberapa minggu untuk pulang ke rumahnya. Tapi kenapa dia tetap beraktivitas bahkan pergi ke sekolah? Kuputuskan untuk menyimpan surat itu dan akan menanyakan langsung kepadanya tentang hal ini.
Selesai sholat dhuhur, kelasku kelihatan bersih kembali. Aku kembali duduk di bangku dengan tenang dan berusaha untuk menyembunyikan apa yang baru saja aku sadari. Dira datang dari arah pintu dan menuju ke tempatku sambil memukul-mukul meja dengan ekspresi yang seperti biasanya. “Alay”. Kami bercanda seperti tidak ada suatu apapun yang sedang kami sembunyikan. Semuanya berjalan seperti biasanya hingga guru kami masuk. Tapi aku semakin bingung. Sampai kapan ia akan menyembunyikan penyakitnya yang parah itu.
Selesai makan di pentri, aku bergegas ke asrama untuk beristirahat. Namun tak selang berapa lama, hanphone-ku berbunyi. Yaa, siapa lagi, pikirku. Itu pasti dari Si Alay Diat Admanegara. Aku membuka pesan baru itu dan ternyata aku salah. Itu bukan dari Mr. Alay yang kumaksud. Nomor yang tertera pada pengirimnya tidak kuketahui. Ia hanya mengucapkan assalamu alaikum wr.wb… Kupikir tak ada salahnya menjawab salam seseorang yang tak dikenal. “wa’alaikum salam wr.wb”.. Nomor itu kembali membalasnya. Katanya namanya April. April Reza Sadega. Seorang teman lama yang dulu begitu kukagumi. Bahkan aku pernah meminjamkannya sebuah buku dakwah dari ayahku yang juga merupakan guru pembimbing di sekolahnya. Tapi jangan salah paham. Aku mengaguminya karena ia adalah sosok yang baik dan kriteria orang yang patut dibanggakan karena prestasinya. Ia hebat dan ahli dalam berdakwah. Bagiku ia patut diacungi jempol karena hebat berdakwah dengan umur yang begitu muda. Tapi, ada apa ia tiba-tiba muncul? Padahal setahuku, aku pun tak begitu akrab dengannya. Berbincang saja tidak pernah. Tapi itu kumaklumi. Mungkin saja ia hanya ingin menyiarkan dakwah-dakwahnya bukan saja lewat media suara, tapi melalui sms-sms dakwah kepada semua orang yang ia kenal.
Hari terus berlanjut. Sudah kuduga April akan mengirimkan dakwahnya hari demi hari di handphoneku. Semua dakwahnya tentang wanita. Benar-benar teman yang baik. Tidak jarang aku bertanya mengenai mengapa wanita harus begini dan begitu. Dampak dari dakwahnya pun kuakui sangat berpengaruh. Setelah membaca semua dakwahnya tentang wanita, aku jadi lebih menjaga kelakuanku, perkataanku, dan bahkan persahabatanku dengan Dira kuakui agak mulai renggang. Dira pun terheran-heran dengan perubahanku. Katanya aku berubah tidak seperti yang ia kenal dulu. Lebih kalem tapi bukan kaya’ lemari. Aku mencoba untuk menjelaskan kepadanya tentang apa yang menyebabkanku berubah seperti ini. Aku menceritakannya tentang April. Awalnya ia mulai terpukau saat aku menceritakan tentang kehebatan dakwahnya. Tapi lama kelamaan ia berpikir bahwa April hanya mengada-ada. Karena pengaruh yang ditimbulkan dakwah April kepadaku sangat besar. Bahkan sekarang aku seperti menjauhi Dira, sahabatku sendiri.
Mungkin Dira mulai jengkel dengan sikapku yang agak tertutup padanya. Tidak lagi seperti seorang sahabat yang akrab, tapi sudah seperti musuh. Aku pun mulai berpikiran negatif terhadapnya. Kupikir jika ia memang menganggapku sahabat, maka ia akan menerima perubahan sahabatnya apalagi itu dalam tujuan yang baik. Tetapi ternyata tidak. Bahkan aku pernah mengusulkan kepadanya untuk bersahabat dengan April. Agar dia dan aku tahu bagaimana hukum-hukum bersahabat dengan lawan jenis sesuai dengan syariat yang ditetapkan. Tapi dia tetap tidak mau. Aku memutuskan berkonsultasi dengan April tentang masalah persahabatanku dengan Dira. April hanya menyuruhku untuk berbicara baik-baik dengan Dira. Tapi mungkin aku terlalu cepat putus asa jadi kuputuskan untuk tidak melakukannya. April pun memutuskan untuk berbicara langsung dengan Dira. Kuberikan nomor HP Dira kepadanya dan ia berjanji akan menghubungiku secepatnya setelah berbicara dengan Dira.
***
Beberapa hari setelah kuberikan nomor Dira, April tak kunjung memberikan informasi apa-apa. Dira pun seperti menghilang ditelan bumi. Beberapa hari ini ia tak masuk sekolah. Aku seperti kehilangan sinyal handphoneku selama beberapa hari . Aku takut. Jangan-jangan Dira akan memutuskan untuk mengakhiri persahabatan kami. Aku was-was memikirkan bagaimana solusi dari masalahku. Aku bergegas mencari handphoneku dan berusaha untuk berbicara dengan sahabatku yang alay itu.
“Assalamu alaikum,. Ini kamu Dir?” tanyaku
“Wa’alaikum salamn. Iya. Kenapa Cik?” jawabnya datar.
“Gimana keadaanmu?” tanyaku khawatir.
“Agak mendingan kok. Oh iya, kemarin April nitip salam. Katanya jaga diri baik-baik , dan jangan lupa sholat.!” jawab Dira.
Aku bungkam seribu bahasa. Sesuatu yang aneh telah terjadi. Dira yang terakhir kali kutemui jengkel dengan April, kini berbalik menyampaikan salam dari April. What’s going on?. Lagi-lagi Dira bertingkah aneh.
“Woiiii, kok diem neng? Kaget ya? Kasihan!!!” ejeknya.
“Oh.. nggak. Nggak apa-apa. Aneh aja. Kesambet setan apa bang?” tanyaku berbalik mengejeknya.
“Hahahaha.. Nanti juga bakalan tahu.! Eh, besok kan aku udah masuk sekolah!. Ditraktir yah!” jawabnya girang.
“Iya. Iya. Bawel. Assalamu alaikum!” jawabku lalu mengakhiri pembicaraan kami.
Di sekolah, seperti biasanya aku menungguinya di depan kelas. Dira datang dengan wajah cengengesan sambil senyum licik kepadaku. Dihadapanku ia berhenti dengan ekspresi yang lebih tenang.
“Assalamu alaikum ukhti!” sapanya dengan sangat girang.
“Wa’… alaikum salam. Ada angin apa bang? Tumben sopan amat?” tanyaku keheranan.
“Nggak apa-apa. Biasa aja. Yuk masuk kelas!” katanya datar.
Hari-hari kami kembali seperti biasanya. Tapi yang berbeda hanya Dira. Ia lebih ceria, santai, dan tidak terlalu alay. Bahkan ia memberiku sebuah hadiah. Diatasnya ada sebuah tulisan “untuk kelingking kecilku”. Aku jadi teringat folder yang ada di notebooknya. Ia menyuruhku membuka bungkusan itu dan didalamnya sebuah buku berwarna biru karya Kimberly. J. seorang pakar psikologi yang mengulas tentang persahabatan dan batasan-batasannya. Dan dibawahnya ada jilbab yang warnanya biru dengan gambar lebah yang ada di ujung kainnya. Like these yoo. Aku sangat senang dengan hadiah itu. Aku berterima kasih kepada Dira. Tak pernah sekalipun ia sebaik ini. Tapi tunggu dulu, setahuku ia sedang sakit beberapa hari ini dan pastinya ia tidak diizinkan keluar dari asrama kami. Jadi bagaimana ia membelinya? Ia juga tidak mungkin mempunyai cukup uang untuk membeli buku Kimberly. J semahal ini? Bonnya saja sudah menumpuk di Kios Bu’ Ras. Aneh.
“Dir, siapa yang membeli semua ini? Kamu?” tanyaku.
“Bukanlah. Mana aku punya uang sebanyak itu!” jawabnya datar.
“Huh..Jadi ini darimana? Kamu ngepet ya? Astagfirullah al adziiim!!” aku kaget seraya memukul kepalanya dengan buku.
“Woii, sakit tahuu!!. Ngapain ngepet? Kan kalo ga ada kamu, ga ada yang jagain lilinnya.!” ejeknya.
“Heh.. serius tahuuu!! Trus ini semua dari mana?” tanyaku penasaran.
“Buku ini dari April dan jilbabnya dari aku sendiri. Aku minta maaf yah karena hari itu aku nggak begitu kenal dengan April. Tapi ternyata dia anak yang baik. Kamu benar. Ia memang hebat. “ katanya sambil tersenyum.
“Oh. Pantesan. Trus kalian bicara apa aja?” tanyaku kembali.
“Idiiiih, mau tahu ajaa! Rahasia dong. Cewek nggak boleh tahu.!” jawabnya sambil tersenyum.
“Aaaaaa… Diraaaaaa… Kasitau dong. Pelit banget sih. Kalo nggak ada aku, kamu juga nggak bakal kenalan kan?” kataku jengkel.
“Ntar juga tau sendiri. Orang itu mesti sabar. Karena orang sabar disayang sama Allah SWT.!” kata Dira.
“Idiiiiih soook alay!!” kataku seraya bergegas keluar dari kelas meninggalkannya.
Kuintip dari jendela, Dira tersenyum-senyum sendiri. Kupikir ia sudah mulai gila. Atau mungkin April sudah membacakannya ayat-ayat mujarab yang membuatnya seperti orang setengah waras. Huh dasar Dira!.
***
Bel berbunyi, pertanda pelajaran usai. Setelah makan, aku bergegas kembali ke asrama. Belum sempat aku mengganti pakaian, handphoneku lagi-lagi berbunyi. Aku harap itu pesan dari April. Lama juga aku tak mendengar kabar darinya. Biasanya ia mengirimiku dakwah singkatnya melalui pesan singkat. Apalagi setelah ia berhasil membantuku memperbaiki persahabatanku dengan Dira. Ku rasa kekagumanku mulai timbul kembali. Kubuka pesan itu dan ternyata aku benar. Itu pesannya.
Assalamu alaikum,…
Cik, bagaimana kabarmu. Dengan Dira juga?. Ku harap setelah pertengkaran ini, persahabatan kalian akan semakin akrab tapi tentunya dengan memperhatikan batas-batasnya. Aku senang bisa berteman denganmu dan Dira. Ternyata berbicara dengan Dira lebih mudah dari pada yang kubayangkan. Ia lebih cepat mengerti.
Ada satu hal yang perlu kau ketahui Cik. Dira, yang selama ini kau anggap sahabatmu itu menyimpan perasaan yang lebih dari sekedar teman. Mungkin kau agak kaget mendengar hal ini. Aku hanya menyampaikan apa yang seharusnya tidak kusampaikan. Ia lebih memilih cinta dalam diamnya. Ia takut mengutarakannya karena mengingat persahabatan kalian yang sangat erat. Karena itu ia marah ketika seorang April datang memasuki kehidupanm. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa kau pernah mengagumiku.
Tapi jangan khawatir, ia tidak akan melakukan hal-hal yang gila. Aku telah membicarakan hal ini dengannya. Alhasil dia mau mengerti. Jadi pertahankanlah persahabatan kalian.
Wassalam.
Membaca pesannya yang begitu panjang, membuatku sedikit tertegun. Aku hampir tidak percaya dengan semua yang diucapkannya. Lalu apa yang harus kulakukan dengan Dira? Aku tak bisa terus-menerus berpura-pura kalau aku tahu bahwa dia menyukaiku. Apalagi kekagumanku pada April semakin bertambah. Jika aku berterus terang bahwa aku mengetahuinya, mungkin ia akan malu-malu, menjauhiku, dan persahabatan kami bubar. Tentu aku tidak menginginkannya terjadi. Ya ampun. Apa lagi ini.?. Tak beberapa menit berlalu, kemudia 1 pesan baru kembali memanggilku. Kali ini pesan dari Dira.
Assalamu alaikum Cik.
Aku tahu kamu kenal April sudah sangat lama. Hanya saja kalian jarang berbicara kan? Tapi aku yakin kamu cukup tahu banyak tentang April. Begini, kemarin ia bercerita kepadaku. Ia pernah menyukai seseorang yang sudah sangat lama dikenalnya. Katanya orang itu pernah meminjamkan buku dakwah kepadanya. Dia tak ingin memberitahukan namanya. Bukunya berinisial B.F.C dan sekarang buku itu ia titip kepadaku. Dan karena buku itu, ia jadi terlatih berdakwah. Ia sangat berterima kasih kepada orang ini. Dan bahkan ia mengaku bahwa hingga saat ini ia tidak bisa melupakannya. Cik kira-kira kamu tahu tidak siapa orangnya? Kalo diperhatikan dari caranya bercerita, sepertinya orang ini sangat berharga untuknya. Jadi kamu mau membantukan?
Sekali lagi aku tertegun. Pesan Dira kali ini benar-benar membuatku semakin bingung. Satu yang kukenali adalah inisial B.F.C. Itu adalah inisial yang diberikan ayah untukku pada buku dakwah yang ia berikan. B.F.C. adalah kepanjangan dari Book For Cika. Tahukah kamu apa arti dari semua ini? Mereka seperti sedang mengirimkan pesan-pesan yang tidak mereka pahami. Mereka membicarakan satu orang yang sama dalam pemikiran yang berbeda. Dan kurasa hanya April yang mengetahui semua ini. Mungkin karena itu ia tak pernah membalas pesan yang kukirim.
Aku betul-betul bingung. Disisi lain Aku memang mengagumi sosok April, tapi apa yang akan terjadi jika Dira mengetahui bahwa yang dimaksud “orang yang berharga itu” adalah aku. Pasti dia akan kecewa. Benar-benar sebuah pemikiran yang rumit. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang empuk. Menarik napas panjang. Terlihat buku berwarna biru yang diberikan April ditasku. Aku bergegas mengambilnya dan berharap akan ada satu cahaya terang untukku setelah aku membacanya.
****
Hari terus berganti, Dira terus mendesakku untuk mengingat kembali nama-nama teman lamaku yang mungkin berhubungan dengan April. Mungkin ini caranya berterima kasih kepada April yang telah membantunya. Ku akui niat baiknya, tapi sama saja aku akan menyakiti sahabatku sendiri jika aku menceritakan yang sesungguhnya.
“Kenapa sih semangat banget bantuin April? Emang segitunya ya?” tanyaku.
“Ya harus dong. Dia tuh udah bantu banyak. Apalagi aku!! Bantuin cari orangnya yah!!” jawabnya semangat.
“Yang biasa dong! Aku aja yang dibantuin, nggak gitu-gitu amat!.. Heh pinjam Notebooknya dong. Mau kerja tugas nih, … yah.yah.yah?” pintaku.
“Siap Boosss..!!! Tapi jangan lupa yeaaaa!!!” kata Dira.
Aku mengambil Notebook Hijau Dira dari tasnya. Sambil mengerjakan tugasku, ia sepertinya sedang sibuk menulis sesuatu dihadapanku. Sangat serius. Hampir tak ada suara bising atau suara-suara jahil yang biasanya kudengarkan. Tapi aku tak begitu menghiraukannya. Aku terus mengetik hingga akhirnya pekerjaanku selesai. Aku berniat menyimpannya difolder baru di Notebook hijau itu. Tapi lagi-lagi mataku tertuju pada 1 folder yang sampai saat ini membuatku penasaran. Apa sebenarnya yang menjadi rahasia didalam folder ini. Aku mengatakan kepada Dira bahwa aku ingin membawa Notebooknya ke asrama. Ia mengijinkan.
Di asrama, aku berusaha membuka folder misterius itu tanpa sepengetahuannya. Berbagai inisial dan nama kumasukkan tapi tak ada yang cocok satu pun. Hingga kuketik sebuah nama “C.I.K.A”. dan admit! Diterima. Di dalamnya terdapat beratus-ratus file data yang judulnya seperti,.. tanggal, bulan, dan tahun. Aku rasa ini adalah semacam folder harian Dira. Ternyata sahabatku itu juga suka menulis diary. Aku bingung harus memulainya darimana. Aku memilih salah satu diantara file yang terakhir kali ditulisnya. Lalu kemudian membacanya.
Dear Diary
April Reza Ad. Seorang yang baru saja kukenal. Ia mengajarku untuk bagaimana menghadapi hidup meski dalam keterpurukan. Ia terpandang tapi tak pernah sombong. Ia membantuku mengembalikan rumah orang tuak yang hampir ditelantarkan, dan membantuku mengembalikan nyawaku yang terancam hingga bisa sehat seperti ini. Dan terakhir, ia membantuku untuk memperbaiki persahabatanku dengan orang yang sangat aku sayangi.
Pril, aku berjanji untuk memberikanmu sebuah kejutan. Untuk membayar semua kebaikanmu. Aku akan mendapatkan “Orang berhargamu” untukmu, agar kau bisa merasakan kebahagiaan sepertiku. Thanks sob!.
Astaga?!. Jadi inikah alasan mengapa ia terlalu bersemangat untuk membantu April untuk menemukan orang yang memiliki buku itu. Aku tak bisa lagi berkata apa-apa. Apa yang harus kulakukan. April terlalu baik untuk Dira. Jika aku berterus terang tentang hal ini, kemungkinan besar Dira akan menganggap bahwa ini akal-akalan April untuk menemukanku. Tak ada jalan lain. Aku harus menghubungi April dan membahas tentang hal ini.
***
Usai sholat Ashar, aku berniat menghubungi April. Namun diluar dugaan, handphone-nya tidak aktif. Kupikir, mungkin dia sedang sibuk dengan segala urusannya. Beberapa hari kemudian aku mencoba menghubunginya kembali. Tapi hasilnya nihil. Handphone-nya masih tidak aktif. Aku bingung mau berbuat apa lagi. Sementara itu, Dira pasti akan semakin larut dengan rasa terima kasihnya kepada April.
Keesokan harinya aku memutuskan untuk berbicara baik-baik mengenai hal ini kepada Dira. Meskipun agak takut, tapi kukira itu hal yang terbaik saat ini. Pulang sekolah aku berbicara dengan Dira. Kujelaskan semua tentang April dan buku itu. Sepertinya dia agak kecewa. Tapi kemudian dia mengatakan sesuatu yang tak bisa kuduga sebelumnya. Sebenarnya ia sudah mengetahuinya, tapi ia hanya menungguku untuk berterus terang tentang hal ini. Tapi kemudian, ia menerima surat dari April tanpa memberitahuku. Surat itu sudah sampai seminggu yang lalu.
Parepare, 16 April 2012
Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Dira dan Cika, Sahabtku…
Terima kasih kepada kalian yang sudah mau menjadi temanku. Kuakui aku berdiri di tengah kemewahan, tapi aku jarang berada ditengah kebersamaan. Aku bersyukur bisa mengenal agamaku dan sempat mendoakan orang tuaku sebelum aku pergi. Bahkan aku bisa merasakan kebersamaan ditengah kalian sekarang. Terima kasih untuk Cika, karena buku BFC –mu aku bisa sukses dan mendalami Islam sehingga aku bisa mengajarkan kembali kepadamu mengenai buku yang tak sempat aku kembalikan dulu. Dan untuk Dira, maafkan aku sebelumnya. Aku telah lancang mengatakan hal yang tak sepantasnya kuceritakan kepada Cika. Tapi itu semua hanya agar kalian saling menjaga perasaan masing-masing. Ingatlah bahwa hubungan tanpa ikatan yang sah, tidak akan diridhoi oleh Allah SWT. Aku memang sempat menaruh rasa kepada sosok Cika, tapi kini rasa itu kutitipkan kepadamu Dira. Mungkin saat kalian membaca surat ini, aku sudah terpanggil. Semoga persahabatan kalian dapat saling menjaga. Saling menyayangilah karena Allah, namun jangan sampai rasa sayangmu kepada sesamamu melebihi rasa sayangmu kepada Allah SWT.
Wassalam,.
With love, April Reza Sadega
Tidak ada komentar:
Posting Komentar